Your Cozy Corner

Kenapa Harus Hidup Minimalis?

11 comments

Dulu waktu kecil, setiap pagi di hari Senin begini aku pasti sibuk banget. Sibuk nyari kaus kaki, dasi dan juga topi buat dipakai upacara. Satu lemari udah aku obrak-abrik, tapi nggak ketemu juga. Heran ya, padahal setiap Senin selalu begitu, tapi entah gimana kok bisa Senin berikutnya gitu lagi. Aku nggak kepikiran belajar dari pengalaman untuk menyimpan keperluan sekolahku di tempat yang proper.

Namun, kalau dipikir-pikir ibuku juga begitu kok (maaf ya Mah, jadi dibawa-bawa hehehe). Selalu ada satu momen di setiap harinya saat ibu kebingungan mencari sesuatu, entah itu kunci motor, dompet, pulpen, buku dan tentu saja baju!

Singkat cerita waktu kuliah aku merantau ke Surabaya. Punya kamar sendiri tanpa sedikitpun intervensi dari orang lain ternyata membuatku tidak lagi kesulitan menemukan barang-barang yang aku perlukan. Simply karena kamarnya sempit, barangnya nggak terlalu banyak dan tempatnya di situ-situ aja.

Eh tapi, setidakterlalubanyak barang pun, ternyata kalau aku amati tetap saja masih berlebihan. Misalnya, aku punya gelas lebih dari tiga, begitu pun piring, dan sendok. Baju-baju juga terlalu banyak di lemari sampai tidak pernah terpakai. Kalau nggak berdebu, ya mereka semua bau apek.

Intinya, hidupku yang sudah banyak masalah itu makin ruwet dengan adanya masalah-masalah kecil seperti di atas yang tidak sadar mengendap dalam pikiran. Iya, baju apek di lemari dan gantungan itu masalah loh. Barang-barang berdebu di rumah itu juga masalah. Itulah kenapa, setiap kali habis beres-beres dan bersih-bersih, pikiran dan hati jadi plong kan? Ya karena masalahnya sudah selesai!

Lalu apakah kemudian hidupku jadi lebih tenang setelah beres-beres dan bersih-bersih? Tentu saja belum. Karena aku belum menemukan dan menyelesaikan akar masalahnya.

Setelah menikah, aku disadarkan oleh suami bahwa barang-barangku terlalu banyak, aku tidak punya space untuk menyimpannya dan kalaupun ada aku malas untuk mengembalikan barang-barangku ke tempatnya semula.

Lumayan kesal sih aku setiap hari berhadapan dengan suami yang serba rapi. Meja miring sedikit aja buru-buru dilurusin. Huuufft!

Tapi ya gimana lagi, daripada diomelin setiap hari dan makan ati, akhirnya aku belajar mencontoh suamiku sedikit demi sedikit. Katanya sih hidup minimalis. Sampai akhirnya aku mulai mencari tahu, seperti apa sih hidup minimalis itu.

Hidup Minimalis Itu...

Gaya hidup minimalis ini ada banyak versi. Ada yang menyandingkan minimalis dengan spark joy seperti Marie Kondo. Namun, ada juga Fumio Sasaki yang hampir tidak punya barang di rumahnya saking minimalisnya dia. Versi lainnya tentu saja masih banyak.

Jadi, gaya hidup minimalis ini tidak saklek. Tidak seperti matematika yang nilai kebenarannya berlaku umum dan teoremanya bisa dibuktikan baik secara langsung maupun dengan kontradiksi.

minimalis itu apa sih?

Dari sekian banyak versi hidup minimalis, satu hal yang aku tangkap dan terapkan dalam kehidupanku adalah hidup sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan.

Hidup sesuai kebutuhan bukan berarti menafikkan segala keinginan. Kita tentu boleh ingin beli sesuatu, ingin punya sesuatu. Namun, seorang minimalist tidak akan berlebihan. Tidak berlebihan bagi masing-masing orang tentu standarnya berbeda. Kita tidak bisa melakukan justifikasi terkait hal ini satu sama lain.

Bagi sebagian orang, punya lima pasang sepatu itu berlebihan. Namun, bagi sebagian yang lain, sepuluh pasang sepatu masih terbilang kurang. Bagi sebagian orang, beli sepatu harga lima ratus ribuan tergolong berlebihan. Namun, bagi sebagian yang lain, sepatu puluhan juta masih masuk akal. Dengan kata lain apapun itu sesuaikan dengan budget kita, dengan uang kita.

Kita sendiri yang bisa mengukur batas berlebihan kita. Yang paling mudah adalah dengan melihat cashflow bulanan, tahunan dan menghitung aset kita. Namun, tidak menutup kemungkinan ada hal-hal lain yang jadi pertimbangan dalam menentukan standar tersebut.

Langkah Awal Memulai Hidup Minimalis

Langkah awal tentu saja dengan melihat ke dalam rumah. Ada sebuah pertanyaan yang dapat digunakan untuk memulai hidup minimalis.

Barang apa saja yang TIDAK aku butuhkan?

Jangan dibalik. Kalau kita bertanya, "Barang apa saja yang aku butuhkan?" Secara psikologis akan membuat kita merasa membutuhkan semua barang yang ada. Jadi coba tanyakan ke dalam diri masing-masing, "Barang apa saja yang tidak aku butuhkan?"

mulai hidup minimalis dengan decluttering

Inilah langkah awal hidup minimalis yaitu melakukan decluttering atau mengurangi barang-barang yang sudah tidak perlu.

Oke kita mulai dari lemari baju. Baju yang mana yang sudah tidak pernah atau jarang dipakai? Berarti baju tersebut sebenarnya sudah tidak dibutuhkan.

Gimana kalau suatu saat butuh? Ya dulu pasti kita juga bilang begitu, tapi nyatanya tetap nggak dipakai kan? Kalaupun butuh coba dipikir ulang, butuhnya kenapa? Apakah kalau nggak pakai baju itu jadi kena sanksi atau gimana? Direnungkan saja dulu. Kita bebas memutuskan kok. Hanya saja masalahnya sekarang rela nggak untuk mengeluarkan baju tersebut dari hidup kita.

Ngomongin kerelaan ini memang berat. Di awal pun aku juga masih belum bisa melepaskan barang-barangku, terutama yang ada kenangannya. Kalau kata mbak Hamim yang sedang memulai hidup minimalis tahun ini, beratnya itu kalau barang yang harus direlakan dulu belinya pakai gaji pertama huhu.

Sama seperti rasa malas, obsesi terhadap barang itu daya tariknya seperti gravitasi bumi. Kuat banget. Namun ketika kita sudah bisa lepas dari gravitasi, semuanya akan jadi lebih ringan bahkan sampai melayang kan. Ya, langkah awal memang selalu berat. Tapi, aku yakin kalian pun bisa!

Setelah mulai dari lemari baju, mulai deh melipir ke area lain. Ke ruang tamu, ruang keluarga, ruang bermain anak, dan dapur. Udah, selamat bertanya-tanya terus. Apa yang tidak aku butuhkan?

Distribusi Hasil Decluttering

Ada tiga hal yang pernah aku lakukan dalam mendistribusikan hasil decluttering.

Jual Miring

Barang yang masih bagus banget dan kemungkinan besar laku seperti alat elektronik, atau barang baru bekas kado biasanya aku jual.

Kalau menjual barang hasil decluttering, mindset yang digunakan seharusnya bukan untung rugi ya. Karena tujuan awalnya kan memang bukan mencari keuntungan melainkan decluttering. Jadi aku jualnya di harga yang miring banget sehingga cepat laku dan barang tersebut cepat keluar dari rumah.

Jadikan Hadiah

Berikutnya adalah dengan memberikannya secara gratis pada saudara atau teman-teman. Barang yang diberikan tentu bukan barang yang sudah jelek ya.

Kita harus memastikan barang yang mau dihibahkan masih bagus dan terawat. Posisikan diri kita sebagai penerima barang. Tentu kita juga tidak mau menerima barang yang sudah jelek dan lusuh kan.

Kalau mau seru-seuan, bisa juga diberikan dalam bentuk hadiah giveaway dengan melakukan challenge!

Buang Hati-hati

Terakhir, buang barang yang sudah rusak, lusuh dan jelek dengan hati-hati. Kumpulkan sesuai kategori. Kain dengan kain, kertas dengan kertas, pecah belah dengan pecah belah dan seterusnya. Selain itu pisahkan juga benda-benda yang berpotensi bahaya seperti benda tajam, jarum, baterai dan sebagainya.

Setelah Decluttering Rasanya...

Setelah melakukan decluttering aku mendapatkan kelegaan baik di dalam hati maupun di dalam rumahku. Barang yang lebih sedikit membuat rumah jadi lebih luas. Barang yang tidak banyak membuatku tidak lagi membuang waktu. Barang yang fungsional membantuku hidup lebih optimal.

Sekarang beres-beres rumah jadi lebih singkat. Selain itu, aku jadi lebih mudah menemukan benda-benda yang aku butuhkan. Kenapa? Karena sekarang semua benda punya rumah.

Tanpa kita sadari, barang di rumah itu seolah berbicara loh pada kita. Dan omongan mereka itu di alam bawah sadar ikut mengganggu pikiran kita.

Misalnya nih, ada handuk basah di atas kasur. Dia itu seperti bilang, "Halooo, ini loh aku di atas kasur terus dari tadi. Jadi nggak kering-kering kan. Ayo cepetan pindahin aku ke jemuran! Pulangkan aku ke rumahku!"

Begitu juga barang-barang yang lain. Dengan memberikan rumah pada setiap benda, secara tidak langsung kita memberikan rasa damai pada pikiran kita.

Nah, selanjutnya adalah bisa nggak kita konsisten untuk mengembalikan setiap benda pada tempatnya setelah benda tersebut digunakan? Mau nggak? Kalau mau dan bisa, bonus dari hidup minimalis ini biasanya adalah kita jadi orang yang lebih rapi dan terorganisir.

Apakah rapi kemudian jadi estetis? Tidak juga. Estetika menurutku adalah selera. Minimalis nggak harus estetis. Tapi minimalis dan juga estetis ya tidak apa-apa.

Biasanya yang sering dilakukan oleh orang-orang adalah melakukan decluttering bukan untuk mengurangi barang melainkan untuk mengganti dengan barang baru yang lebih estetis. Sebenarnya esensi decluttering bukan begini.

Decluttering itu mengurangi barang tak terpakai, bukan mengganti barang tersebut. Namun, sekali lagi ini selera. Kalau ada budget dan itu membuat spark joy ya silakan. Asumsinya barang sebelumnya adalah pemberian orang dan ternyata bukan kita banget.

Namun sekali lagi, lebih bijak untuk memanfaatkan benda yang ada di rumah dengan sebaik mungkin sebelum benar-benar mengeluarkannya dari rumah.

Pada akhirnya, belajar jadi minimalis juga membuat kita belajar untuk mindfull dalam membeli sesuatu. Belajar minimalis membuatku jadi orang yang tidak mau dengan mudah mengubah benda menjadi sampah.

Biasanya sebelum membeli barang aku akan menanyakan pada diriku beberapa pertanyaan berikut.

  1. Sesuai budget kah?
  2. Ada tempat (rumah) untuk menyimpannya nggak?
  3. Berapa lama aku akan menggunakan barang tersebut?
  4. Adakah barang sejenis di rumah yang masih bisa digunakan?

Dan pada akhirnya, belajar minimalis menyelamatkan keuanganku, hahaha.

Minimalisme dalam Berbagai Hal

Tidak hanya di dalam rumah, minimalisme bisa juga kita terapkan dalam berbagai hal. Dalam hal ngeblog misalnya.

Coba dicek lagi, setiap membuka blog pikiran kita jadi ruwet nggak? Entah karena kebanyakan draft yang belum publish, kebanyakan kategori yang ternyata nggak rutiin kita isi dan sebagainya. Seperti handuk basah, mereka ngomel juga loh ke kita, hehehe.

Atau dalam hal pekerjaan. Dalam sehari ada berapa banyak pekerjaan yang mengganggu pikiran kita? Pekerjaan utama, ngurus anak, ngeblog dan berbagai job lain yang telah kita terima tawarannya. Sepertinya hidup kita produktif, tetapi apakah kita tenang? Apakah pasangan dan anak-anak kita nyaman dengan produktivitas kita? Kalau semuanya oke, go ahead. Namun, saat kita jadi sumpek, maka kita bisa melakukan decluttering terhadap job yang dirasa bisa membuat kita dan keluarga jadi under pressure.

kenapa harus hidup minimalis?

Jadi, kenapa harus hidup minimalis? Jawabannya nggak harus kok. Hidup minimalis itu pilihan. Bagiku bisa mebuat hidup jadi lebih tenang. Siapa tau bagi kalian juga. Apa salahnya dicoba?

Related Posts

11 comments

  1. Bener banget mba, minimalisme bikin lebih tenang. Baru nerapin dikit-dikit kayak ngurangin buku atau pakaian yang numpuk itu kerasa banget efeknya di psikologis.

    Minimalisme itu menurut saya kayak never ending journey

    ReplyDelete
  2. Kalau aku akhir2 ini lagi rajin decluttering isi lemari. Dan bener, merelakan itu nggak mudah ternyata. Kemarin pas liat kebaya akad dan gaun resepsi mikir, ini enaknya dipreloved aja kali ya biar keluar dari lemari... Tapi masih belum relaaaa :"

    Yg susah direlakan lagi kalau aku tuh buku. Padahal buku novel yg lama2 udah jarang banget dipegang. Tapi mau merelakan masih berat, gimana dong :"

    ReplyDelete
  3. Saya tipe yang tidak pernah merasakan riweh di hari senin waktu sekolah dulu, karena kebetulan dididik orang tua yang lumayan disiplin, jadi dari minggu kita sudah nyiapin barang-barang sampai printilan kecil untuk sekolah esoknya.

    Kalau masalah minimalis, saya sendiri tipe minimalis, tak suka dengan benda-benda yang bikin ribet, mulai dari perabotan rumah sampai pakaian, semuanya berprinsip 'yang diperlukan' saja

    ReplyDelete
  4. Lbh baik sedikit tapi benar2 bermanfaat. Daripada banyak mubajir.

    ReplyDelete
  5. Ah mentor minimalist di blogger hebat nih wkwkwk. Kalau aku terbantu banget sama minimalis di barang dan mindset. Kalau barang jadi nggak bikin pusing. Rumah lega, cari barang gampang. Mindset juga jadi nggak overthinking, kerjaan kelar, dll. Salut sama yang udah konsisten, karena sebetulnya sulit. wkwkwkwk

    ReplyDelete
  6. Hidup minimalist ku baru sebatas niat ini mbak, tapi efeknya sudah luar biasa... Mo beberes itu yang belum punya waktu. PR nya adalah kenapa selalu datang lagi barang-barang yang remeh temeh itu wkwkwk.

    ReplyDelete
  7. Proses decluttering yang paling akhir aku lakukan biasanya adalah baju! Perihal merelakan baju ini bikin gejolak emosi sendiri. Belom lagi kondisi belum normal kayak sekarang.

    ReplyDelete
  8. Jadi keliatan lebih bersih sih..klo rumah minimalist

    ReplyDelete
  9. iyaa pengen banget hidup minimalis, tapi kalau hidup barengan sama keluarga besar, rasanya tuh susah banget. apalagi sama orang tua yang emang suka menimbun barang. kalau belum rusak, pasti masih disimpan dengan dalih "nanti bakalan terpakai".

    padahal sampai udah puluhan tahun, yaa itu gak kepakai-kepakai. haha

    ReplyDelete
  10. Saya salah satu pendukung seni hidup minimalis. Jujur belum pernah baca buku pelopornya, tapi dari beberapa tulisan intinya sih inin
    gaya hidup yang sangat pas. Tidak berlebihan.

    Karena masih tinggal di rumah mertua, jadi belum bisa full manage rumah. Yang jelas seirng daya decluttering. Prinsip saya, kalo sudah setahun barang itu diam di situ ngga dipakai, ya berarti dia perlu cari rumah lain. Biasanya saya kasih orang lain.

    Gemes liat rumah mertua yang banyak barang dan kliatan gloomy. Pengen decluttering tapi bukan hak milik haha

    ReplyDelete
  11. Minimalist lebih simple dari segala hal ya. Baik dari cara berpikir, mudah menempatkan.
    Tetapi yang sulit itu datangnya godaan ingin membeli. Makanya, sekarang kalau sedang buka marketplace, hanya mencari barang yang dibutuhkan saja. Setelah itu keluar aplikasi, daripada merembet kemana-mana.

    ReplyDelete

Post a Comment